“Cinta kita akan bertabur darah. Darah perjuangan tuk menegakkan kalimatullah. Elok muka kamu bakal tergurat dengan getir perjuangan. Mulus telapak kakimu akan mengapal tergores-gores duri pedih juang. Namun di saat itu teruslah basahi bibir kamu dengan pekik-pekik perjuangan, saat-saat seperti itu tetap fokuskan lensa matamu menatap surga keabadian yang dijanjikan…….”
Sudah bukan lagi saatnya bergenit-genit dengan melambangkan cinta dengan amor berwarna merah jambu atau berkuntum-kuntum bunga. Begitupun, sudah bukan masanya lagi merayakan cinta dengan berjoget india. Kau bersembunyi di pohon sebelah sana. Lalu aku dari pohon sebelah sini. Kemudian seiring bunyi kendang kita muncul bersamaan. Belakangan grup penari perempuan dan grup penari lelaki muncul mengiringi kita. Chaiyya chaiyya chaiyya chaiyya….. eiyya chaiyya chaiyya chaiyya chaiyya…..
Cut!
Andai kata ini masanya bersantai rupa boleh saja. Namun, sekarang bukan lagi saatnya. Karena zaman ini adalah zaman revolusi!!
Maka bayangkan cinta kita seperti masa-masa klasik di era empat lima yang heroik namun tetap romantik. Sembari menggotong senapan, kau senyum mengantarkan aku ke medan perang. Kucium keningmu sembari mendoakan keamananmu dan anak-anak kita. Lalu kau bisikkan doa, kakanda, semoga selamat…. Namun andaikan kakanda gugur syahid… insya Allah adinda tetap ikhlas. Maka kita pun berpisah. Kau tak merengut dengan banjir air mata sedu sedan. Sama, aku pun tak risau. Ada Allah menjaga kita. Tak perlu khawatir dan sekali lagi tak perlu bergenit-genit menyanyi: “selendang sutra…. Tanda mata…. darimu….”
Tidak, karena cinta kita adalah cinta revolusi!
Bayangkan pula, cinta kita akan seperti cintanya Rasulullah dan Khadijah. Yang harta rumah tangganya habis demi untuk dakwah. Maka tetap senyumlah meski harus tidur di gubuk reot, makan sepiring berdua…. Meski begitu kita tak akan menyanyi dangdutan “… Pagi makan… sore tiada…..”
Tidak, karena cinta kita adalah cinta revolusi!
Mungkin kita tak akan banyak bersama. Kemana-mana berdua, layaknya perangko yang selalu menempel. Bergandengan seraya bernyanyi koor “Sepanjang jalan kenangan…. Kita slalu bergandeng tangan….”.
Tidak. Mungkin aku selain kerja akan banyak disibukkan dengan agenda dakwah. Kamu juga di dalam dakwahmu. Maka jangan cemberut ketika aku pulang larut malam karena agenda yang melimpah. Jangan cemberut dinda…
Karena cinta kita adalah cinta revolusi!
Jangan ribut pula, bila suatu waktu aku tidak pulang-pulang. Tak perlu engkau berdendang “Bang toyib…. Bang toyib, dimana engkau berada….”.
Nggak. Karena aku bukan aku bukan aku bukan bang Toyib… (ups, kok malah aku yang nyanyi…). Maksudnya, sayangku tak perlu risau. Kalau aku nggak pulang-pulang, semua karena revolusi. Bisa jadi musuh Allah menangkapku karena perjuangan suci. Atau bisa jadi juga aku terpikat dengan panggilan berangkat ke medan perang yang diteriakkan oleh amirul jihad. Dan aku lupa ngirim sms ngasih tahu bahwa lagi jihad. Nggak sempat bikin status di facebook, apalagi ngirim BlackBerry Massenger.. (karena memang nggak punya). Dan aku ternyata malah sudah mati syahid. Saat itu, cukuplah engkau seperti Khansa yang dengan tegar mengikhlaskan kepergian orang-orang yang dicintainya. Yang mengatakan dengan tenang… “Cukuplah bagiku Allah dan RasulNya”
Tenang, karena –sekali lagi- cinta kita adalah cinta revolusi.
Sayang, rumah yang kita bangun, bukanlah rumah yang sekedar untuk rehat atau bersantai ria. Rumah kita adalah rumah revolusi. Rumah sementara sebelum pada akhirnya kita menikmati rumah sebenarnya di surga. Maka tak usahlah bernyanyi lagunya Godbless “hanya bilik bambu tempat tinggal kita tanpa hiasan tanpa lukisan….. lebih baik disini… rumah kita sendiri…. Semuanya ada di sini…..”
Tidak. Rumah kita adalah tempat tarbiyah, mendidik kita untuk lebih dekat pada Allah. Rumah kita adalah tempat memupuk juang. Rumah kita adalah tempat menyimpan amunisi, wadah rapat mengatur strategi.
Karena rumah ini, meski sederhana, adalah rumah cinta revolusi.
Anak-anak yang kita besarkan bukanlah anak-anak manja, yang sekedar lucu-lucu… kita ajari menyanyi lagu…. Satu-satu aku sayang ibu… dua-dua… aku sayang ayah….. lalu kita tepuk tangan bangga…
Tidak, karena dari rahimmu akan lahir putra putri revolusi. Kita akan ajarkan pada mereka lagu: “satu-satu aku cinta Allah, dua-dua cinta Rasulullah, tiga-tiga, cinta jihad di jalan Allah, baru selanjutnya cinta ibu ayah….”… lalu mereka meneriakkan takbir “Allahu Akbar!!!”
Karena anak-anak kita adalah anak-anak revolusi.
Sayang, lagu cinta yang akan kudendangkan di telingamu bukanlah lagu-lagunya Soneta, Iwan Fals ataupun D’bagindas… lagu cinta yang akan kita nyanyikan adalah dzikir dan kalimah tayyibah. Rehat malam hari kita bukanlah tendangan si Madun atau Tukang Bubur naik haji…. Rehat malam hari kita adalah kajian ilmu tafsir, ilmu hadits, dan AlQur’an. Hingga pelupuk mata kita mulai lelah… dan kita bercanda dengan canda yang Allah izinkan…. Sembari tetap siaga untuk berjuang.
Karena rehat kita, canda kita. Tetap canda rehat revolusi.
Dan ingatlah sayang, ketika kita dipertemukan karena satu tema visi juang yang sama. Ketika kita berjanji merenda kasih di masa-masa umat sedang bertarung melawan kezaliman kekufuran. Ketika akad kita diselenggarakan di masa titian langkah umat menuju kejayaan. Ketika pandangan kita terang menyaksikan di ujung sana… ufuk kemenangan Islam. Tegaknya khilafah yang akan menegakkan syariah Kaffah… dengan gema yang semakin membahana.
Sayang…. Kita wajar berbangga.. Cinta kita direnda di penghujung kemenangan revolusi!
Dan tetaplah terbangun di pertiga malamnya. Tetaplah siaga akan ancaman musuhNya. Tetapkan azzam… jadikan cinta berakar pada imanNya. Tetap tersenyum meski harus berpisah raga.. tetap kepakkan sayap juang meski sudah habis tenaga. Tetap ber-takbir meski hampir habis suara. Demi Allah… cinta kita mekar di jalanNya… akan berakhir di jalanNya… dan semoga tetap berkumpul kelak di surgaNya..
Wala takhaf wala tahzan…
Karena aku… kamu, adalah kumbang… bunga.. revolusi!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar