Kamis, 05 Desember 2013

BELAJAR NIKAH ITU AIB YA...?


Abay Abu Hamzah


Sudah pernah baca buku Revolusi Dari Rumah Kami? Kalau belum pernah, ini saya kutipkan sebagian pembukanya. Bagi yang sudah baca, yuk bernostalgia 
***
Seorang ikhwan bernama Didi sedang duduk di pojok masjid kampus. Kedua kakinya disilang. Punggung tangannya direbahkan dipaha, kedua telapaknya memegang buku. Matanya tertuju pada deretan huruf di buku tersebut, seperti tak ingin diganggu. Sesekali ia melihat ke sekeliling, kemudian meneruskan kembali bacaannya. Setelah beberapa menit membaca, matanya kembali mengawasi sekeliling, seperti memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana, kemudian melanjutkan kembali bacaannya, khusyuk sekali.
“Di!” seseorang menepuk bahunya, “Assalamu’alaikum.” Orang itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Eh, antum Rif. Wa’alaikumussalam.” Jawan Didi seraya menyambut tangan Arif yang terjulur, kemudian mengenggamnya penuh semangat. Tangan kirinya menutup buku yang dibacanya, dengan posisi tertelungkup (cover depan tertutup, yang terlihat adalah cover belakang).
Perlahan, ia mencoba bersikap alami pada Arif. Sambil terus berbincang, perlahan ia masukkan buku itu ke dalam tasnya. Sayangnya, Arif menangkap gerakannya. Belum sempat Didi memasukkan buku itu ke dalam tasnya, Arif mengejutkannya,
“Buku apa itu Di?”
“Ah, enggak.” Didi tersipu, pipinya memerah.
“Pinjam dong.” Arif membujuk Didi. Membuat Didi tak kuasa juga menahannya, sudah terlanjur, batinnya. Merah di wajah Didi semakin nampak saat buku itu ada di tangan Arif.
“Oh, buku ustadz Salim, toh.” Seru Arif setelah membaca judulnya, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Segera saja Arif menggoda Didi, membuat Didi serba salah, merah di pipinya semakin nampak.
“Cie…! Baca NPSP nih ye…” Arif terus menggoda Didi ketika tiga orang ikhwan lainnya dating dan ikut duduk bersama mereka.
“Ada apa nih?” Tanya salah seorang dari mereka selepas beruluk salam.
“Coba lihat buku yang dibaca Didi.” Arif mempertontonkan buku itu pada ketiga ikhwan yang baru datang itu.
Semua menggoda Didi, beragam caranya. Didi tidak bisa berucap sepatah katapun. Hanya senyuman yang keluar dari bibirnya. Bukan senyum gembira, melainkan senyum malu yang dilengkapi warna merah merona di pipinya. Malu, ia begitu malu sudah tertangkap basah membaca buku tentang pernikahan..
***
Saya tidak tahu apakah kalian pernah melihat atau mengalami kejadian tersebut atau tidak. Yang jelas, saya pernah. Dan kejadian tersebut tidak sehat. Sekilas nampak, kita hanya melihatnya sebagai sebuah momen bergurau dengan kawan-kawan. Tapi tahukah kita, ada banyak sekali kezhaliman yang kita lakukan melalui gurauan tersebut. Bukan hanya kezhaliman yang berakibat dia malu hari itu saja. Lebih dari itu, gurauan kita akan berakibat sangat buruk terhadap kehidupan pernikahannya di masa mendatang. Hah? Sebegitunyakah?
Kawan, Nampaknya, menggoda kawan yang sedang belajar tentang pernikahan (entah membaca, mendengarkan program radio, atau apapun) telah menjadi budaya di kalangan aktifis dakwah. Bagi saya ini sungguh memalukan.
Saya bisa merasakan perasaan Didi, setelah kejadian memalukan itu, tentu ia tidak akan lagi berani membaca buku tentang pernikahan di tempat umum. Tidak akan lagi dia mengulang ‘kesalahan’ yang sama. Bahkan lebih dari itu, ia akan menganggap perbincangan tentang pernikahan adalah bincang-bincang tabu. Akhirya. Ia tidak sekedar takut membaca buku tentang itu, lebih dari itu, ia tidak akan mencoba-coba membelinya di toko, apalagi di bazaar buku yang diadakan di kampus.
Nampaknya itu masih belum terlalu bermasalah ya?
Baiklah, mari kita lihat empat atau lima tahun ke depan. Saat di mana Didi menikah dengan akhawat pilihannya. Mari kita lihat betapa indahnya baju koko pengantin yang dikenakannya. Dan kalian para akhwat, silakan terpana menyaksikan kesederhanaan jilbab pengantin yang dikenakan oleh Rini, isterinya Didi, teman sekampusnya dulu. Jilbab pengantin itu dirancang dan dijahit oleh ustadzah Yenni, isteri dari seorang lelaki yang bukunya sedang kalian baca 

Alunan nasyid dari Seismic dan Inteam masih merajai ruangan itu, karena hanya beberapa menit berlalu sejak akad nikah dilafazhkan. Lihatlah senyum riang dari bibir Didi, tak bisa berhenti nampaknya. Kepada para akhawat, lihat pulalah senyum yang sama dari bibir Rini, bahagia sekali bukan?
Lalu, apakah kita bisa membayangkan kebahagiaan itu mesti hancur disebabkan kebiasaan kita menggoda orang yang sedang mempelajari pernikahan?
Lihatlah, hari pertama pernikahan mereka. Semuanya berjalan indah. Didi dan isterinya sedang shalat tahajjud bersama. Air matanya membanjir di sudut terakhir, ucap syukur tak terkira atas karunia Allah yang begitu berharga buatnya. Lihatlah Didi meniup ubun-ubun isterinya seraya mendoa pada Sang Penggenggam Jiwa.
Itu. Didi dan Rini sedang bercengkrama di sepeda motornya. Mesra sekali nampaknya. Sesekali mereka tertawa riang, sesekali rini mencubit perut suaminya yang sedang mengemudikan motornya.
Seminggu berjalan, semua baik-baik saja. Sebulan berlalu, masih baik-baik saja. Bahkan ternyata Rini hamil di bulan kedua pernikahan mereka. Betapa bahagianya. Tapi bulan-bulan berikutnya tak sebaik sebelumnya. Masing-masing mulai mengetahui sifat asli pasangannya. Modal husnuzhzhan yang mereka bangun di awal ta’aruf dulu, kini justeru menjadi pemicu masalah.
Ya, semasa ta’aruf, semuanya dibangun dengan persangkaan baik bahwa calon pasangannya adalah seorang aktifis dakwah Islam. Rini berbaiksangka karena Didi adalah mantan ketua lembaga keislaman mahasiswa di kampusnya, dan karenanya, Rini merasa tak perlu menanyakan banyak hal semasa ta’aruf ini, toh dia adalah orang baik. Begitupun Didi, ia merasa berpuas dengan informasi yang diterimanya dari penglihatan sekilas bahwa Rini adalah salah satu akhwat yang paling aktif berbicara di setiap rapat organisasinya. Kurang apa lagi, menurut Didi.
Mereka hanya bermodal baik sangka, bahkan setelah menikah. Kini, kandungan Rini sudah enam bulan. Perutnya tentu saja semakin membesar. Payah yang dirasanya, bertambah-tambah. Emosinya, sudah lama sukar dikendalikan.
Adapun Didi, setiap hari, semenjak pagi hingga menjelang sore, ia bekerja sebagai guru negeri di salah satu sekolah di Kalimantan Selatan. Sepulang dari bertugas mencerdaskan kehidupan ummat, Didi masih harus berhadapan dengan belasan amanah dakwah yang dibebankan kepadanya. Maklum, ia adalah satu-satunya kader dakwah di kecamatan itu.
Mereka berdua tinggal di sebuah rumah sederhana yang belum dialiri air ledeng. Sehingga, untuk kebutuhan memasak, mencuci, dan mandi, mereka harus mengambilnya dengan timba ke sumur di sebelah rumah mereka. Keadaan ini cukup sulit untuk Rini, mengingat perutnya yang semakin membesar. Tak usahlah mengangkat timba, membawa perutnya berjalan saja sudah payah.
Lagi-lagi Rini berbaiksangka pada suaminya. Bukankah suamiku kader dakwah? Tentu ia mengerti kebutuhanku. Aku butuh air untuk memasak, mencucikan pakaian kerjanya, dan tentu saja untuk membuatkannya teh hangat setiap pagi hendak berangkat kerja, atau menyiapkan jahe panas setiap ia harus lembur mengerjakan tugasnya sebagai guru, ataupun amanahnya sebagai kader dakwah. Rini yakin bahwa ia tak perlu bicara, suaminya pasti mengerti.
Beberapa waktu lamanya ia menunggu. Suaminya masih berbaring di depan televisi, nampak kelelahan sekali. Di kamar mandi, baknya masih kosong. Gentong persediaan air untuk memasak juga masih kering. Padahal ia sudah lama menunggu pengertian dari suaminya.
Rini kecewa. Ia merasa bahwa suaminya tidak bisa memahami keadaannya yang sedang hamil tua. Ia pergi ke sumur. Di tangannya dua buah ember besar berwarna hitam. Dijatuhkannya timba yang terikat dengan tali. Dengan sekuat tenaga, ditariknya tali itu hingga timba berisi air perlahan naik ke atas. Ketika ember tersebut sudah cukup dekat dengan tangannya, Rini mengangkatnya lalu menuangkannya ke ember besar di sebelah kirinya. Begitu berulang-ulang.
Setelah kedua ember besar tersebut terisi penuh, Rini membawanya ke kamar mandi melalui pintu belakang. Karena baru satu kali mengangkut, tentu airnya belum cukup untuk memenuhi bak mandi. Rini mengulang pekerjaannya tadi, menarik timba, mengangkat ember ke bak mandi, begitu berulang-ulang. Didi yang melihat kejadian itu masih tetap berbaring sambil menonton televisi.
Setelah bak mandi dan gentong persediaan air minum terisi penuh, Rini duduk tersandar di pintu yang membatasi ruang tengah dengan dapur. Tangannya meremas perut sambil meringis kesakitan.
“Bi…, Abi…!” teriaknya sambil menangis.
Didi bergegas mendatanginya.
Ternyata saat mengangkat ember terakhir tadi, banyak darah mengalir di kaki Rini. Ia mengalami pendarahan. Dan kemudian tidak sadarkan diri.
Didi berteriak histeris. Ia segera keluar rumah, memanggil siapa saja yang ada di luar untuk membantunya menangani isterinya.
***
Sebenarnya, kejadian dalam kisah yang saya sajikan itu bukanlah semata kesalahan Didi, atau Rini. Kawan-kawannya sangat berperan dalam merusak kebahagiaan mereka. Gurauan mereka saat itu, membuat Didi malu mempelajari pernikahan. Perlahan namun pasti, waktu terus bergulir, mengantarkannya pada waktu yang sudah ditentukan oleh Allah sebagai hari pernikahannya. Rentang waktu antara gurauan itu dengan hari pernikahan Didi, tidak diisinya dengan persiapan yang memadai untuk menuju ke gerbang pernikahan. Kenapa? Karena dia malu mempelajarinya.
Budaya buruk itu juga menyebabkan sebagian besar aktifis dakwah islam, menganggap belum saatnya membaca buku-buku pernikahan. Bagi mereka, membaca atau membicarakan pernikahan adalah aktifitas yang melemahkan dakwah, tidak produktif. Belum saatnya. Kapan saatnya? Menurut mereka, nanti, saat sudah jelas akan menikah, biar tidak mengganggu dakwah. Bagi mereka
Pandangan seperti itu sama buruknya dengan yang sebelumnya. Bayangkan, mempersiapkan diri menuju pernikahan dianggap tidak produktif? Apa maunya mereka, ingin membuat semua orang tidak siap menikah? Dan kenapa pula mereka membuat aturan sendiri, bahwa hanya orang-orang yang sebentar lagi menikah sajalah yang layak membaca atau membicarakan tentang pernikahan.
Apa mereka tidak tahu bahwa pernikahan itu tidak hanya untuk sehari dua hari, sebulan dua bulan, setahun dua tahun? Tidak! Sebisa mungkin kita ikhtiyar pernikahan kita tidak sekedar sampai tua, tetapi sampai menutup mata, bahkan berlanjut hingga ke surga.
Lalu, bagaimana mungkin urusan yang akan dijalani seumur hidup, hanya dipelajari dan dipersiapkan dalam seminggu dua minggu, atau sebulan sebelum menikah? Bagi saya, justeru pandangan seperti itu adalah pandangan yang sangat berbahaya, itu meremehkan pernikahan yang sangat mulia. Allah menyebutnya miitsaaqon gholiizhaa, ikatan yang demikian kuat. Rasul menyebutnya sebagai separuh agama. Bagaimana mungkin kita bisa menganggap perkara ini sederhana, dan bisa dipelajari hanya dalam sebulan dua bulan? Sungguh terlalu!
Karena kawan-kawannya menganggap mempelajari pernikahan sebagai aktifitas yang tidak produktif, jadilah Didi menikah tanpa memahami apa yang akan terjadi di dunia pernikahan. Jadilah Didi menikah tanpa mengetahui mana kewajibannya, hanya hak saja yang diketahuinya. Jadilah Didi menikah tanpa memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap Rini, isterinya. Dan siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap semua itu? Tentu saja Didi. Tapi jangan lupa, kawan-kawannya yang membuatnya malu mempelajari semua tentang pernikahan. Budaya buruk yang dibangun oleh kawan-kawannya yang menjadi perantara sebabnya.
Mari renungkan. Masihkah kita perlu mempertahankan budaya buruk ini. Masihkah kita ingin membuat malu orang-orang yang sedang mempersiapkan diri menuju pernikahan. Jika kita masih menganggap perbincangan tentang pernikahan itu tabu, dan kita terus menganggap orang yang mempelajarinya sebagai orang yang kegatelan, kita harus bertanggungjawab di kemudian hari. Sebab kitalah mereka tak lagi berani mempelajari tentang pernikahan. Dan sebab kitalah kehidupan rumah tangga mereka hancur.
Karena itu, sedari kini, mari kita budayakan membincang pernikahan sebagai perkara yang tidak merah jambu. Ia adalah salah satu hokum fiqih, sebagaimana saat kita mempelajari tentang thaharah, tentang shalat, puasa, zakat, tentang waris, dan lain sebagainya. Mari kita bersiap sejak kini, menyongsong pernikahan yang barakah. InsyaaLlah.
0leh: Abay Abu Hamzah dalam buku Revolusi Dari Rumah Kami.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar