
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui
banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line
(tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya
mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang
disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang
menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang
terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan
pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan
bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan
dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold
Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan
bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan,
dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian
disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu
ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut
kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh
perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan
istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang
digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan
mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur
horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing
level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang
harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan
sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi
formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan
pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang
tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting,
karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadikan point sebagai
ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung
berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung
biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak
langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian
ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis
multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan
harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh
pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran)
—sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang
tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal
ini, satu member Gold Quest, misalnya, harus membangun formasi 5-5 untuk satu
levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi member, maka member
tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian
langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan
perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar
menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang
menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing
down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan.
Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi
kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun
vertikalnya.
Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai
bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi
jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan),
dengan kata lain, bisa berbentuk vertikal atau horizontal; atau perpaduan
antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika
tidak ada benefit (keuntungan) yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1)
potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah
lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus
ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik
yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold
Quest, atau yang mengklaim sebagai MLM Syariah, seperti HPA al-Wahidah.
Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa
masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain,
bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa
menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut
tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti
kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus
jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).
Jaringan MLM dalam Bisnis HPA
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi:
(1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai
member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada
perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stockist. Disebut makelar,
karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan—
bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut.
Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel
marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu
fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian
langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan,
juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang
tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang
tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua
merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah
dikemukakan.
Jaringan MLM Bisnis Voucher
Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa
praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari beberapa hukum
di bawah ini, bisa salah satunya, atau semuanya sekaligus:
Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah
shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad
jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran), atau akad
dalal (mereferensi).
Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau
TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik)
langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan
selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya
lagi.
Hukum komisi dan bonus, baik bonus pembelian langsung, maupun tidak langsung
yang lazim disebut bonus jaringan dan kepemimpinan;
Praktik ghabn fahisy (penipuan harga yang keji), yaitu dinaikannya harga
berkali lipat dari harga pasar.
Mengenai fakta larangan melakukan shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi
bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai
berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibn
Hibban dari Abu Hurairah ra. yang menyatakan:
«نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ»
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.” 1
Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud
bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan,
“Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000,
dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini.
Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan
milik saya menjadi milik anda.”2 Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh
al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, “Maksudnya adalah adanya dua akad dalam
satu kesatuan akad, seperti ketika seseorang menyatakan, ‘Saya jual rumahku ini
kepada Anda, dengan syarat saya jual rumah saya yang lain kepada Anda dengan
harga sekian, atau Anda jual rumah Anda kepada saya, atau Anda nikahkan saya
dengan anak perempuan Anda.”3
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad
dalam satu kesatuan transaksi. Akad yang pertama adalah akad jual beli budak,
sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Atau akad menjual rumah satu,
dengan menjual rumah lain lagi dalam satu kesatuan akad. Namun, masing-masing
dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah
dua transaksi tersebut include dalam satu akad.
Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud dan ‘Abdurrahman bin
‘Abdillah dari bapaknya dengan redaksi:
«نَهَى رَسُوْلُ الله عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ»
“Rasulullah Saw telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan
(akad).”4
Hadits yang senada dikemukan oleh Ibn Hibban dalam kitabnya, Shahih Ibn Hibban,
dengan redaksi sebagai berikut:
«لاَ تَحِلُّ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ»
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad).”5
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di
atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad
(kesepakatan) dalam satu kesatuan akad (kesepakatan).
Hadits Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuib, dari
bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
«لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ»
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak
dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.” 6
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan
disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan
pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam
satu kesatuan transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang
terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan.
Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah
(kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.7
Sebagaimana jual-beli dan ijarah dalam satu kesatuan akad dilarang, maka
jual-beli dan samsarah dalam satu kesatuan akad juga dilarang. Karena
masing-masing adalah akad yang terpisah, dimana satu dengan yang lain tidak
terkait, dan tidak menjadi tuntutan yang diharuskan oleh akad.
Dari dalalah (petunjuk lafadz) yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha
(melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa
hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada
lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini
mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu
kesatuan akad, serta manath hukumnya.
Ini berbeda, jika apa yang dinyatakan dalam satu akad tersebut merupakan syarat
atau ketentuan yang terkait, misalnya, jual-beli mensyaratkan adanya
serah-terima (qabdh) barang yang dibeli, baik dengan menyerahkan barangnya
secara langsung kepada pembeli, seperti jual-beli gula yang ditimbang, kain
yang diukur, atau buah yang dihitung per biji, maupun dengan cara mengosongkan
barang yang dibeli, seperti jual-beli rumah. Ketentuan seperti ini tidak
merusak akad, justru sebaliknya menjadi syarat sah dan tidaknya akad. Ketentuan
seperti ini termasuk syarth muqatadha al-‘aqd (syarat yang dituntut oleh akad).
Karena itu, tidak termasuk dalam kategoti shafqatain fi shafqah atau bai’atain
fi bai’ah.
Selain itu, ada juga ketentuan yang dinyatakan dalam satu akad, meski bukan
sesuatu yang dituntut oleh akad (laisa min muqtadha al-‘aqd), namun tidak
menyalahi muqtadha al-’aqd dan menjadi maslahat bagi salah satu atau kedua
pihak. Misalnya, seseorang menjual mobil dan mensyaratkan dia kendarai sampai
tempat tertentu, baru diserahterimakan. Di masa Nabi SAW, misalnya pada kasus
Jabir bin Abdullah yang mensyaratkan untuk mengendarai unta yang dijualnya
kepada Nabi SAW. Fakta ini juga tidak termasuk dalam kategori shafqatain fi
shafqah, atau bai’ataini fi bai’ah. Dalam konteks ini berlaku hadits:
«اَلمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ»
“Orang Islam terikat dengan syarat yang mereka sepakati.” 8
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai berikut:
اِرْتِبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ مَعَ الأَثَرِ فِي
مَحَلِّهِ
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan
dampak yang ditetapkan pada tempatnya.9
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada
ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan); ijab (penawaran) dari pihak pertama,
sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus
dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing
pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini
kepada Anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si
pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah
penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak
mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli
sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual
tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap
salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat).
Misalnya, akad syarikah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat
(barang atau benda), sedangkan akad ijarah adalah akad yang dilakukan terhadap
jasa (manfaat), sebagaimana akad nikah, juga merupakan akad yang dilakukan
terhadap jasa (manfaat). Meski akad nikah tidak bisa disebut akad ijarah,
karena dalam akad ijarah status jasa atau manfaatnya adalah untuk dimiliki
(tamlik), dimana jasa atau manfaat tersebut berasal dari ajir (buruh/pekerja)
untuk diberikan sebagai milik musta’jir (majikan/tuan), sementara jasa dan
manfaat isteri yang dinikahi bukan tamlik, tetapi istibahah bagi suaminya.
Artinya, jasa dan manfaat isteri tersebut menjadi halal bagi suaminya, tetapi
tidak bagi yang lain, dan dia pun tidak mempunyai hak untuk memberikannya
kepada yang lain. Karena itu, meski sama-sama obyeknya, yaitu jasa atau
manfaat, namun status akad dan konsekuensi ijarah dan nikah tersebut berbeda.10
Dari penjelasan di atas, tampak jelas, bahwa akad di dalam Islam hanya terjadi
pada dua obyek (al-ma’qud ‘alaih), yaitu barang (‘ain) dan jasa (manfa’at).
Selain terhadap dua hal ini, maka status akad tersebut jelas bathil. Contoh,
akad terhadap dzimmah (janji/komitmen), seperti janji untuk memberikan ganti
rugi (klaim) jika ada resiko kerusakan atau kehilangan dalam kasus asuransi.
Ini adalah akad yang batil, karena bukan dilakukan terhadap salah satu dari dua
bentuk obyek yang bisa diakadkan.
Jika ada yang mengatakan, bukankah jual-beli inden (bai’ salam) adalah
jual-beli terhadap sesuatu yang belum ada, kecuali barang yang dideskripsikan
dalam tanggungan (dzimmah) penjualnya? Bukankah ini juga jual-beli dzimmah?
Para fuqaha’ menyatakan, bahwa jual-beli inden (bai’ salam) adalah jual-beli
terhadap barang (‘ain), hanya saja barangnya belum ada, tetapi contoh atau
deskripsinya ada. Dengan demikian, obyek yang diperjualbelikan adalah barang,
bukan janji/komitmen (dzimmah)-nya. Ini berbeda dengan asuransi, karena yang
dijual adalah janji/komitmen (dzimmah).
Adapun praktek makelar (samsarah) atau mereferensikan (dalal) secara umum,
hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang
menyatakan:
«كُنَّا نَبْتَاعُ الأَوْسَاقَ بِالْمَدِيْنَةِ وَكُنَّا نُسَمَّى السَمَاسِرَةَ،
قاَلَ: فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَسَمَّانَا بِاسْمِ هُوَ أَحْسَنُ مِمَّا كُنَّا
نُسَمَّي بِهِ أَنْفُسَنَا، فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ هَذَا
الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلَفُ، فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ».
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami
dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw
keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada
sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir,
pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah,
maka bersihkan dengan sedekah’.” 11
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta makelar (samsarah) atau member
referensi (dalal) yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang
dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:
السِّمْسَارُ اِسْمٌ لِمَنْ يَعْمَلُ لِلْغَيْرِ بِالأَجْرِ بَيْعاً وَشِرَاءً
”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan
kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”12
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’,
telah meyatakan definisi tentang makelar, yang dalam fiqih dikenal dengan
samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
وَإِنْ دَلَّ فِي الْبَيْعِ يُقَالُ: دَلَلْتُكَ عَلىَ الشَّيْءِ دَلاَلَةً
وَدِلاَلَةً بِفَتْحِ الدَّالِ وَكَسْرِهَا وَدُلُوْلاً وَدُلُوْلَةً بِضَمِّهَا
فِيْهِمَا إِذَا أَرْشَدْتُكَ إِلَيْهِ أَيْ أَرْشَدَ المُشْتَرِي إِلَيْهِ
فَكاَنَ سِمْسَارًا بَيْنَهُمَا وَيُسَمَّى الدَّلاَلَ
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah
menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalâlat(an), dan
dikasrah dalnya, dilâlat(an), serta didahmmah dalnya, dulûl(an), atau
dulûlat(an)— jika saya menunjukkan Anda kepadanya, yaitu jika menunjukkan
pembeli kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya
(pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.” 13
Penjelasan yang tidak jauh berbeda juga dinyatakan oleh Ibn Mandzur, dalam
Lisan al-‘Arab, yaitu:
وَهُوَ فِـي الْبَـْيعِ اِسْـمٌ لِلَّذِيْ يَدْخُـلُ بَـيْنَ البَائِعِ
وَالـمُشْتَرِيْ مُتَوَسِّطاً لإِمْضَاءِ الْبَـْيعِ قَالَ سَّمْسَرَةُ البَـيْع
وَالشِّرَاء
Samsara (makelar) dalam jual-beli adalah sebutan untuk orang yang masuk di
antara penjual dan pembeli sebagai perantara untuk mewujudkan jual-beli.
Berkata, “Makelar jual-beli.” 14
Dari batasan-batasan tentang makelar di atas, bisa disimpulkan, bahwa makelar
itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai
pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang
lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak
diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah
(mutawassith), atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang
berbeda; kepentingan penjual (ba’i) dan pembeli (musytari). Jika dia menjadi
penengah orang tengah (mutawassith al-mutawassith), maka statusnya tidak lagi
sebagai penengah, sehingga gugurlah kedudukannya sebagai penengah
(mutawassith), atau makelar (simsar). Inilah fakta makelar (samsarah) dan
member referensi (dalal).
Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa aktivitas makelar (samsarah) atau
memberikan referensi (dalal) adalah aktivitas yang hukumnya mubah, berdasarkan
Sunnah Taqririyyah (sikap diam) Nabi ketika mengetahui praktik tersebut
berlangsung di hadapan baginda, sebagaimana hadits dari Abu Ghurzah al-Kinani
di atas.15 Para ulama’ pun menjelaskan faktanya, sebagaimana yang dikemukakan
di atas, dimana akad tersebut merupakan bagian dari akad terhadap jasa atau
manfaat, yaitu menghubungkan antara penjual dan pembeli, sehingga transaksi
jual-beli di antara kedua bisa terlaksana. Karena itu, orang yang melakukannya
berhak mendapatkan ujrah (upah) atau ‘amulah (komisi). Namun demikian,
kebolehan tersebut harus tetap terikat dengan batasan yang telah dijelaskan di
atas, yaitu sebagai orang tengah (mutawassith), atau orang yang mempertemukan
(muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual (ba’i) dan pembeli
(musytari). Jika tidak, maka hukum kebolehan samsarah tersebut tidak bisa
diberlakukan, karena fakta hukum (manath hukm)-nya berbeda.
Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan
fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn
fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan
menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi
member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai
membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi
perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar
termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi
bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi
jual-beli dengan makelar secara bersama-sama dalam satu kesatuan akad. Praktek
seperti ini jelas diharamkan, sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski
untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk
menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut
mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya
di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga
termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab,
membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu.
Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar
menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung.
Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang
tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada
awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah
mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia
menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang
jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka
bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala
samsarah (memakelari makelar). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis
multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah,
bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini.
Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah
jelas bertentangan dengan fakta hukum kebolehan (manath hukm) samsarah dalam
Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas
telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya juga haram.
Adapun penyimpangan praktik samsarah seperti ini bisa ditelusuri pada dua
aspek: Pertama, dari fakta hukum (manath hukm) samsarah-nya itu sendiri, yang
jelas-jelas berbeda, sehingga hukum samsarah yang dibolehkan dalam fikih Islam,
tidak bisa diberlakukan untuk fakta samsarah ‘ala samsarah dalam MLM ini.
Kedua, konsekuensi dari samsarah, yaitu tamlik al-manfa’at oleh makelar kepada
penjual atau pembeli, dan ujrah (upah) atau ‘amulah (komisi) yang diberikan
oleh penjual atau pembeli kepada makelar diberikan karena jasa atau manfaat
langsung mereka. Karena itu, ketika makelar pertama mendapatkan upah atau
komisi bukan dari jasanya sendiri, melainkan dari jasa atau manfaat makelar
kedua, ketiga dan level berikutnya, maka upah dan komisi seperti ini jelas
bukan merupakan haknya. Karena itu, upah atau komisi yang didapatkan dari sini
juga bukanlah harta yang halal baginya, sebab jelas bukan haknya.
Hukum Ghabn Fahisy dan Bonus dalam MLM
Selain dua faktor di atas, yaitu shafqatain fi shafqah atau bai’atain fi
ba’iah, dan samsarah ‘ala samsarah, ada faktor lain yang ikut menentukan
keharaman praktik bisnis MLM, yaitu terjadinya ghabn fahisy. Sebab, harga
barang atau produk yang dijual di dalam jaringan MLM tersebut, umumnya lebih
tinggi daripada harga pasar. Misalnya, produk tertentu di pasar dijual dengan
harga Rp. 10,000 sementara di dalam jaringan bisnis MLM tersebut dijual dengan
harga Rp. 20,000. Praktik seperti ini jelas masuk dalam kategori ghabn fahisy
(manipulasi harga yang keji).
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi
SAW:
«إِنيِّ أُخْدَعُ فِي الْبُيُوْعِ فَقَالَ: إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَ
خِلاَبَةً»
“Saya ditipu dalam jual-beli.” Maka, Nabi bersabda, “Jika kamu melakukan
jual-beli, maka katakanlah, “Tidak boleh ada penipuan.”
Menurut al-Qadhi, orang itu adalah Habban bin Munqidz bin ‘Amru al-Anshari
al-Mazini.16 Masih menurut al-Qadhi, penipuan dalam jual-beli tersebut tidak
membatalkan jual-beli. Hanya saja, al-Mulla al-Qari menegaskan, “Saya tegaskan,
bahwa ghabn fahisy (manipulasi harga yang keji) jelas membatalkan jual-beli,
dan berlaku khiyar (memilih antara melanjutkan atau membatalkan akadnya) bagi
yang berpendapat demikian.”17 Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-‘Allamah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, an-Nidzam al-Iqtishadi fi
al-Islam.18
Hadis ini telah menuntut agar khilâbah atau khadî’ah (penipuan) ditinggalkan,
karena itu hukumnya jelas haram. Dari sini, maka al-ghabn (melakukan manipulasi
harga) itu juga haram. Hanya saja, ghabn yang diharamkan adalah ghabn yang
keji. Sebab, ‘illat pengharaman ghabn adalah karena ghabn itu merupakan
penipuan dalam harga. Tidak disebut penipuan kalau hanya sedikit (ringan),
karena ghabn adalah ketangkasan (trik) pada saat menawar.
Imam Jalaluddin al-Mahalli, dalam kitabnya, Syarh al-Mahalli ‘ala al-Minhaj,
menjelaskan bahwa ghabn fahisy (manipulasi harga yang keji) dalam mu’amalah
adalah menaikkan harga yang tidak menjadi kelaziman (ma la yuhtamalu ghaliban).
Adapun menaikkan harga yang sedikit, seperti menjual sesuatu yang harganya 9
Dinar ditawarkan 10 Dinar tidak termasuk ghabn fahisy.19
Jadi, ghabn disebut khidâ’ (penipuan) jika sudah sampai pada taraf keterlaluan
(keji). Jika ghabn memang telah terbukti, maka pihak yang tertipu boleh
memilih, antara membatalkan atau meneruskan jual-belinya. Artinya, jika telah
tampak adanya unsur penipuan dalam jual-beli, maka pihak yang tertipu boleh
mengembalikan harganya dan meminta kembali barangnya, jika dia seorang penjual;
atau boleh mengembalikan pembeliannya dan mengambil kembali uangnya, jika dia
seorang pembeli. Adapun meminta ganti rugi sama sekali tidak diperbolehkan.
Artinya, orang yang bersangkutan tidak boleh mengambil selisih harga barang
yang sesungguhnya dengan harga yang sebelumnya telah digunakan untuk
menjualnya. Alasannya, karena Rasulullah saw. hanya memberikan pilihan antara
membatalkan jual-beli atau menersukannya; beliau tidak memberikan alternatif
lain kepada yang bersangkutan.
Imam ad-Daruquthni telah menuturkan hadis dari Muhammad bin Yahya bin Hibban,
yang mengatakan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«إِذَا بِعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ ثُمَّ أَنْتَ فِي كُلِّ سِلْعَةٍ تَبْتاَعُهَا
بِالْخِيَارِ ثَلاَثِ لَيَالٍ، فَإِنْ رَضِيْتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخَطتَ
فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا»
“Jika engkau membeli maka katakanlah, “Tidak ada penipuan (khilâbah).”
Kemudian, dalam setiap pembelian, engkau diberi pilihan hingga tiga malam. Jika
engkau ridha maka ambillah. Jika engkau marah (tidak ridha) maka kembalikanlah
kepada pemiliknya.”20
Hadis ini menunjukkan bahwa pihak yang tertipu diberi pilihan. Hanya saja,
pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua syarat: (1) pada saat terjadinya akad
(transaksi) jual-beli yang bersangkutan tidak tahu; (2) penambahan atau
pengurangan harga yang sangat mencolok itu memang tidak pernah dilakukan orang
lain pada saat terjadinya akad (transaksi) tersebut.
Ghabn al-fâhis (manipulasi harga yang keji) adalah istilah yang digunakan oleh
para pedagang (pelaku usaha) karena memang dianggap sebagai ghabn yang
keterlaluan. Dalam hal ini, ia tidak diukur berdasarkan sepertiga atau
seperempat harga, namun dikembalikan pada istilah para pedagang (pelaku usaha)
di negeri tersebut pada saat terjadinya akad (transaksi) jual-beli, karena
faktanya bisa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan barang dan kondisi pasarnya.
Karena itu, jika harga barang yang dijual di dalam jaringan MLM tersebut
harganya lebih tinggi daripada harga pasar, dan termasuk kategori ghabn fahisy,
maka akad jual-beli seperti ini termasuk fasid (rusak). Dengan catatan, bahwa
mereka yang melakukan transaksi tidak mengetahui harga pasar. Namun, jika dia
mengetahui harga pasar, dan tahu bahwa praktik ghabn fahisy itu terjadi,
kemudian tidak membatalkan akadnya, atau mengembalikan barang yang dibelinya,
maka diamnya orang tersebut dianggap rela. Dengan kerelaannya, maka akad yang
fasid tersebut pun menjadi sah. Sampai berapa lama indikasi diamnya orang
tersebut dianggap sebagai kerelaan? Hadits di atas member tenggat waktu tiga
malam (tsalatsa layal[in]). Artinya, jika lebih dari tiga malam tidak mengambil
tindakan apapun, baik membatalkan akad, maupun mengembalikan barang yang
dibelinya, maka dianggap rela.
Ini dari faktor ghabn fahisy yang terjadi dalam bisnis jaringan MLM. Selain
faktor ini, masih ada satu lagi, yaitu faktor bonus (hibah) yang diterima oleh
up-line, TCO atau yang lain. Hukum asal bonus adalah mubah. Bonus termasuk
dalam kategori hibah yang dibolehkan.
Imam an-Nasa’i dan al-Khafaji dalam kitabnya, as-Sîrah al-Halabiyyah telah
menuturkan riwayat dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa
ketika delegasi Hawazin datang menuntut Rasulullah SAW. agar baginda bersedia
mengembalikan harta yang telah baginda rampas dari mereka, baginda bersabda:
«فَمَا كَانَ لِي وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكُمْ».
“Apa pun yang ada padaku dan pada Bani Abdul Muthallib adalah untuk kalian.”21
Maksudnya, “Itu adalah hibah dariku untuk kalian.”
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
«لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوْءِ الَّذِيْ يَعُوْدُ فِي هِبَتِهِ كاَلْكَلْبِ
يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ».
“Tidak ada orang yang menandingi kejelekan orang yang menarik hibahnya di
antara kita (selain) seperti anjing yang menjilati ludahnya.”22
Dengan demikian, tidak ada bedanya memberi hibah antara kepada orang Kafir dan
orang Islam. Artinya, memberi orang Kafir hukumnya mubah, begitu pula menerima
pemberian mereka hukumnya sama seperti menerima pemberian orang Islam. Imam
Muslim telah menuturkan riwayat dari Asma’ binti Abi Bakar ra. yang mengatakan:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي، وَهِيَ مُشْرِكَةٌ ، فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ
عَاهَدَهُمْ. فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللّهِ . فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: «نَعَمْ.
صِلِي أُمَّكِ»
“Aku pernah didatangi ibuku, padahal dia masih musyrik dan terikat dengan orang
Quraisy (di Makkah), karena orang Quraisy telah mengambil janji mereka.
Kemudian aku meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Aku bertanya, “Wahai
Rasulullah, aku telah didatangi ibuku dan dia rindu. Apakah aku harus
menyambung silaturahmi dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Benar. Sambunglah
hubungan dengan ibumu.” 23
Imam al-Bukhari juga telah menuturkan riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi ra.
yang mengatakan:
«أهدَى مَلِكُ أيلَةَ للنبيِّ بَغلَةً بَيضاءَ، وكَساهُ بُرْداً».
“Penguasa daerah Aylah pernah menghadiahkan bagal betina putih kepada Nabi saw.
dan memakaikan kain bergaris-garis kepada beliau.” 24
Hadits-hadits di atas dengan tegas menyatakan kemubahan hadiah, hibah atau
bonus. Ini hukum asal hibah (bonus), tetapi ketika bonus tersebut dijadikkan
sebagai konsekuensi yang mengikat dari akad, maka status hibah (bonus) tersebut
tidak lagi berdiri sendiri. Dengan dijadikannya hibah dan bonus yang asalnya
tidak mengikat, menjadi mengikat, sehingga harus diberikan, berarti statusnya
telah menjadi satu kesatuan dengan akad. Padahal, akad jual-beli itu tidak
mengharuskan adanya hibah dan bonus, karena itu syarat seperti ini merupakan
syarat yang fasid (rusak).
Selain itu, para ulama’ juga memasukkan hibah (bonus) ini sebagai salah satu
bentuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) dan akad tamlik (pemindahan hak
milik),25 sehingga membutuhkan ijab-qabul dan qabth (serah-terima). Ini berbeda
dengan hadiah, yang bukan merupakan akad, tetapi tasharruf qauli biasa, yang
tidak membutuhkan ijab-qabul. Hibah berbeda dengan hadiah, karena hibah kadang
diberikan dengan kompensasi, sedangkan hadiah tidak.26 Jika hibah (bonus) ini
merupakan akad, dan ini dijadikan konsekuensi yang mengikat dalam akad
jual-beli, maka telah terjadi dua akad dalam satu kesatuan akad, yaitu
jual-beli disertai dengan hibah (bonus). Akad seperti ini juga telah dinyatakan
sebelumnya sebagai akad yang haram.
Tetapi, jika hibah (bonus) tersebut diberikan bukan sebagai konsekuensi yang
mengikat dari akad jual-beli, tetapi bisa diberi dan bisa tidak, maka hibah
(bonus) seperti ini statusnya kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. Karena
tidak menjadi syarat yang mengikat, atau akad lain dalam satu kesatuan akad
jual-beli.
Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status
tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini
berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan
dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat
atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru
meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad)
muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis
keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi)
yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian,
jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka
akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu
merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk
memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh,
jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun
barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan
adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang
melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam
satu transaksi), samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran), ghabn
fahisy (manipulasi harga yang keji) dan hibah (bonus) yang mengikat. Pada
kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap
jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung. Karena itu,
MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat
Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu kesatuan),
samsarah ‘ala samsarah (memakelari makelar), tidak ada aspek ghabn fahisy, atau
terjadi ghabn fahisy namun diterima, serta tidak dijadikannya hibah (bonus)
sebagai satu kesatuan akad yang mengikat, serta ketentuan hukum syara’ yang
lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!
1 Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi,
Beirut, t.t., juz II, hal. 366; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1994, juz IV, hal. 346; Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., juz V, hal. 165; al-Baihaqi, as-Sunan
al-Kubra, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz VIII, hal. 258; an-Nasa’i, Sunan
an-Nasa’i, t.t., juz VII, hal. 340.
2 Lihat, as-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Ahbar, Dar al-Fikr,
Beirut, 1994, juz V, hal. 231; Abu al-‘Ala’ al-Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadzi
Syarh Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz IV, hal. 346.
3 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar
al-Ummah, Beirut, cet. V, edisi Muktamadah, 2003, juz II, hal. 308.
4 Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi,
Beirut, t.t., juz I, hal. 657; al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, Maktab al-‘Ulum wa
al-Hikam, 2003, juz V, hal. 384.
5 Lihat, Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz II, hal.
151.
6 Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi,
Beirut, t.t., juz II, hal. 373; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1994, juz IV, hal. 351; al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala
as-Shahihain, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1990, juz II, hal. 20;
al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz VIII, hal. 94;
an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, t.t., juz IV, hal. 39.
7 As-Sarahsyi, al-Mabsuth, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1406, juz XII, hal. 196.
8 Lihat, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut,
t.t., juz II, hal. 794.
9 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Izalatu al-Atribah ‘an al-Judzur,
hal. ;
10 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi
al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 2004, hal. 85;
as-Sarakhsi, al-Mabsuth, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. 1993, juz
XXIII, hal. 78; al-Jama Sulaiman bin ‘Umar, Hasyiyatu al-Jamal, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. 1996, Kitab al-Ijarah; az-Zaila’i, Tabyin al-Haqaiq
Syarh Kanz ad-Daqaiq, al-Marja’ al-Akbar, Kitab al-Ijarah.
11 Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Dar Ihya’ at-Turats
al-‘Arabi, Beirut, t.t., juz IV, hal. 572; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1994, juz IV, hal. 320; al-Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi, Dar al-Fikr, Beirur, juz VIII, hal. 92; Ibn Syibah, Mushannaf Ibn
Syibah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz V, 260.
12 As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1993, juz XV,
hal. 114.
13 Muhammad bin Abi al-Fath al-Ba’li al-Hanbali, al-Muthalli’, ed. Muhammad
Basyir al-Adlabi, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1401 H/1981 M, hal. 279.
14 Ibn Manzdur, Lisan al-‘Arab, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, .t.t,
Bab Samsara.
15 Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Dar Ihya’ at-Turats
al-‘Arabi, Beirut, t.t., juz IV, hal. 572; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1994, juz IV, hal. 320; al-Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi, Dar al-Fikr, Beirur, juz VIII, hal. 92; Ibn Syibah, Mushannaf Ibn Syibah,
Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz V, 260.
16 Al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqatu al-Mafatih, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, juz
VI, hal. 43.
17 Ibid.
18 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi
al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 2004, hal. 193-195.
19 Jaluddin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, al-Marja’ al-Akbar,
Kitab at-Taflis.
20 Ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004,
juz III, hal. 48.
21 An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., juz VI,
hal. 574; ‘Abdullah al-Khafaji, as-Sirah al-Halabiyyah, Dar al-Ma’rifah,
Beirut, t.t., juz III, hal. 76.
22 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t.,
juz II, hal. 924.
23 Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1992, juz VII,
hal. 75.
24 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t.,
juz II, hal. 921.
25 As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1993, juz VIII,
hal. 97 dan juz VI, hal. 62.
26 Badruddin al-‘Aini, ‘Umdatu al-Qari, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz XIII,
hal. 16